Era digital telah merasuki sendi-sendi hidup manusia
dewasa ini. Kita mulai “mengunjungi” berbagai tempat, site, melalui
monitor dengan beberapa “klik”, lantas kemudian terhubung dengan tempat, misalnya,
wisata yang kita kehendaki. Kita dapat melihatnya, meski dengan pembingkaian (enframing),
dengan pembatasan area visual. Selalu ada keterbatasan dalam program dalam
upaya menghadirkan (replika) realitas. Distorsi tidak dapat dihindari, dan
secara evolutif, hanya diminimalisasi sampai suatu hari nanti mungkin dapat
mengikis batasan-batasan antara lingkungan konkret dengan lingkungan
artifisial.
Bila
dalam era digital kita dapat “mengunjungi” suatu objek wisata, kita bisa
melihatnya dan kadang-kadang mendengarnya. Namun, ada keterbatasan dalam
informasi audio-visual itu. Sudut pandang yang terberi kepada subjek sekadar
sudut pandang yang kaku, terbatas, rigid. Namun dalam upaya melenturkan
rigiditas itu, beberapa perangkat yang tengah dikembangkan seperti sebuah
prototipe bernama Sensorama pada, yang dikembangkan oleh Heilig pada tahun
1962. Perangkat ini digunakan dalam pertunjukan teater, yang disebut “teater
pengalaman”, yang menghadirkan sensasi realitas yang lengkap—mulai dari
penglihatan, suara, bau, dan sentuhan. Dalam bab visual, misalnya, pada tahun
1979 Eric Howlett telah mengembangkan alat Large Expanse, Extra Perspective
(LEEP). Melalui alat ini, gambar stereoskopik dengan cakupan pandang yang luas
dapat menghadirkan kesan ruang yang lebih meyakinkan. Untuk stimulan peraba,
dikenal sesuatu dengan nama sistem haptic.
Kita
barangkali akan bertemu pada suatu momen di mana sinergitas antarperangkat
tersebut tersusun secara solid dan proporsional, sehingga mampu menghadirkan
suatu realitas virtual (baru) yang tak lagi tampak sebagai lingkungan
artifisial. Sebuah duplikasi yang mendekati “accurrate representation of
reality”. Lingkungan virtual itu dapat, barangkali, 99,9% persis, presisi,
identik dengan dunia yang kita kenal. Namun meski demikian, tetap akan hadir
suatu tembok yang menghalangi akses pada pengalaman subjek. Kita tidak “masuk”
ke dunia-sana sebagai subjek hidup, yang “memukimi” ruang tiga dimensi beserta
beragam komponen sensasi-indrawi yang hendak dihadirkan. Meski demikian, upaya-upaya
pengembangan fitur penyusun sistem besar yang diupayakan mereplikasi
sepenuhnya—atau sekonkret mungkin—“fitur alami” di dunia konkret membuat
distingsi antara lingkungan virtual dan lingkungan konkret menjadi mepet,
menjadi kabur.
Ketika
momentum itu terjadi, maka sepenuhnya kita akan hidup dalam—meminjam kata-kata
Baudrillard—suatu simulacrum, suatu simulasi dalam kehidupan. Simulasi
ini tidak lagi terbatas dalam konteks perseptual semata, melainkan juga
fisikal. Artinya, momentum eksperiensial dapat dialami dengan “darah dan
daging”, dengan tubuh. Dunia virtual kini menubuh (embodied) pada
realitas konkret. Dunia virtual semakin sulit dibedakan dengan dunia nyata.
Maka
pada gilirannya, dekorporealisasi semacam ini akan menghantarkan kita pada suatu
pertanyaan baru mengenai kepariwisataan: Apa makna tourism, apabila
ruang, waktu, jarak, tak lagi eksis? Pembelokkan makna “perjalanan” yang
sebelumnya dijiwai melalui transportasi dan materi yang bergerak barangkali
beralih pada “pengembaraan melintasi belantara informasi”.
Tubuh
konkret direplikasi dengan avatar, dengan sistem algoritsmis, menjadi
“aku” yang nyaris melampaui representasi. “Aku digital” perlahan menjadi
denotasi dari “aku aktual”. Variabel waktu dalam tiap proses transportasi,
proses travel, menjadi beku, lantas menguap dan melipat-mampatkan diri.
Waktu sebagai kronometer tak lagi memiliki otoritas atas perpindahan tubuh—yang
telah diwakili oleh semacam “metarepresentasi” kita melalui avatar dalam
dunia virtual, yang barangkali nanti akan lebih akrab kita sebut dengan nama
metaverse.
Kita
dapat mengunjungi tempat wisata dengan metarepresentasi itu, serta merengkuh
beragam “sensasi aktual” dalam arti sebenarnya—meski distimulasi oleh data
semata—meski tubuh organis kita terbaring kaku seperti mayat di rumah. Dunia
menjadi dilipat oleh sistem yang dengan heroik nan gigantis, mencoba
menciptakan semesta baru dengan hukum-hukumnya sendiri yang terbebas dari hukum
alam dunia nyata.
(27 September 2022)
BIODATA PENULIS
Candrika Adhiyasa, menulis
puisi, novel, cerita pendek, esai. Meminati filsafat (khususnya
eksistensialisme dan fenomenologi) dan cultural studies. Pernah belajar
ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Instagram @candrimen
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.