Suarakuningan.com - Tepat pada tanggal 15 Maret 1996, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) lahir di Negara Republik Indonesia. KIPP yang merupakan organisasi Pemantau Pemilu pertama di Indonesia dewasa ini keberdaannya telah menjalar di hampir seluruh penjuru nusantara. Dengan semangat menjaga api demokrasi Indonesia, KIPP senantiasa istiqomah berada di jalur perjuangannya yang salah satunya berada pada domain pemantauan Pemilu.
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas berkah dan limpahan mukjizatnya, KIPP s.d. saat ini keberadaannya masih terjaga bahkan kian massif dalam aktivitasnya, baik saat ada penyelenggaraan Pemilu ataupun tidak. KIPP Indonesia wadah bagi siapa pun yang ingin berjuang menjaga dan mempertahankan demokrasi di Indonesia. KIPP bagi saya, laiknya rumah untuk tholabul ilmi tentang demokrasi,” tutur Ketua KIPP Kabupaten Kuningan, Zaka Vikryan.
Zaka mengatakan bahwa dulu kala, KIPP berdiri dilandasi oleh kesadaran masyarakat bahwa praktik Pemilu di Indonesia tidak sesuai dengan azas Negara demokrasi. Klaim Pemilu yang diselenggarakan secara luberjurdil dinilai sebagai slogan belaka sebab pada praktiknya pemenang Pemilu sudah dapat diketahui sebelum Pemilu dilaksanakan.
“Menurut Ray Rangkuti, salah satu senior KIPP yang menjadi saksi mata berdirinya KIPP, semangat dasar pembentukan KIPP itu demokratisasi. Tidak hanya berorientasi pada pemantauan teknis terhadap pelaksanaan Pemilu,” ujarnya.
KIPP sebagai NGO Kepemiluan yang telah berkiprah selama 27 tahun tentu mengalami fluktuasi sehingga menimbulkan tantangan baik internal maupun eksternal. “Turun-naik itu saya kira bukan hanya di KIPP Indonesia, bukan juga hanya terjadi di KIPP Kabupaten Kuningan, hemat saya fluktuasi itu lumrah adanya terjadi di semua organisasi. Pada usia ke 25 tahun KIPP, Sekjend Kaka Suminta menyampaikan bahwa beberapa tantangan yang dapat dideteksi secara sederhana meliputi tantangan ketersediaan SDM, literatur, teknologi, maupun tantangan-tantangan lain yang harus disikapi dengan cepat dan tepat,” tambanya.
Zaka menambahkan kesemua tantangan tersebut justru menandakan bahwa KIPP ada dan senantiasa hidup di setiap zamannya. “Erich Fromm, Filsuf dan Psikolog Jerman, pernah bilang bahwa sejarah manusia merupakan tanah pemakaman dari kebudayaan-kebudayaan yang tinggi, yang rontok karena mereka tidak mampu melakukan reaksi sukarela yang terencana dan rasional untuk menghadapi tantangan. Maka jika tidak ingin turut menjadi bagian yang rontok, ihwal tantangan itu mesti dihadapi dengan rasional dan terencana,” ujar Zaka.
Warisan para pendahulu KIPP yang memiliki muatan-muatan ideal harus senantiasa dijaga dan diejawantahkan oleh siapa pun dan di mana pun. “Contohnya perkara azas Pemilu luberjuldil bukan hanya slogan belaka. Soal kejujuran misalnya, jangan sampai pura-pura dalam demokrasi di Indonesia sebab Pemilu bukan pentas drama, misalnya koar-koar integritas tapi ada pungutan uang ke badan adhoc penyelenggara Pemilu. Soal keadilan, jangan sampai pemutakhiran data pemilu dilakukan setengah hati kerja di atas meja, sehingga akhirnya ada masyarakat tidak terfasilitasi hak pilihnya, dan masih banyak lagi,” terang Zaka.
Di hari lahir KIPP yang ke 27 Tahun, Zaka mengajak agar masyarakat bersepakat untuk turut serta memantau penyelenggeraan Pemilu sehingga nilai-nilai ideal yang diamanatkan undang-undang terealisasi dengan optimal. “Tidak hanya untuk masyarakat, saya kira penting juga bagi penyelenggara Pemilu dimana pun tingkat kewenangannya untuk turut serta membumikan esensi demokrasi bukan hanya berkutat pada perkara teknis Pemilu belaka. Sebab demokrasi tanpa esensi bagaikan mayat hidup yang tidak jelas tujuannya,” pungkas Zaka.***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.