Oleh Euis Hasanah
(Pegiat Literasi)
Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh dunia. Didalamnya ada banyak keberkahan dan setiap insan ingin mendapat ketenangan ketika bertemu dengan bulan yang agung ini. Maka dari itu aparat melakukan penertiban terkait dengan peredaran miras atau minuman beralkohol.
Sebagaimana yang dilakukan Polres Malang Kota (Mahkota) melaksanakan Kegiatan Rutin yang Ditingkatkan (KRDY). Selain melaksanakan kegiatan rutin yang ditingkatkan, kegiatan ini juga merupakan tindak lanjut dari pengaduan masyarakat. Sebelumnya, masyarakat merasa resah dengan adanya kios-kios yang menjual minuman beralkohol. Dalam patroli tersebut didapati salah satu kios yang menjual minuman beralkohol tanpa izin dan mengamankan pemiliknya (republika.co.id, 23/2/23).
Di Indonesia sendiri peredaran miras diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol. Dalam pasal tiga beleid tersebut dijelaskan, minuman beralkohol yang diproduksi di dalam negeri atau diimpor dikelompokkan ke ke dalam tiga golongan.
Yaitu minuman beralkohol golongan A (mengandung etil alkohol atau etanol dengan kandar sampai dengan 5 persen), minuman beralkohol B (kadar lebih dari lima persen sampai dengan 20 persen), dan minuman beralkohol golongan C (kadar lebih dari 20 persen hingga 55 persen).
Minol, alias minuman beralkohol minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran. Di Indonesia, walaupun negeri umat Islam terbesar di dunia, barang haram ini masih saja masih perdebatan. Bahkan masih diberikan ruang dalam hal peredaran, nyatanya kebolehan telah disebutkan dalam Perpres diatas namun kadarnya yang dibatasi.
Begitupun dengan tindakan kejahatan kerap terjadi tidak luput dari peredaran minuman beralkohol. Seperti yang dilansir oleh tbnews.com (30/12/22), kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas (laka lantas) di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Data diperoleh tahun 2022, dari 1.415 kasus kriminal yang terdata di Polres Bitung, hampir 100 persen dilatarbelakangi pengaruh miras. Dengan adanya data seperti ini, negara seolah abai dalam permasalahan peredaran miras.
Dalam sistem kapitalisme, yang dipikirkan hanya untung, sedangkan miras jelas dan nyata menjadi sumber pendapatan negara. Maka wajar miras adalah sesuatu yang dipertahankan keberadaannya dan banyak menghasilkan keuntungan. Walaupun keadaannya membawa petaka kejahatan. Seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan penerimaan cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) alias minuman beralkohol sepanjang 2022 mencatat pertumbuhan double digit. Dalam laporan APBN, realisasi penerimaan cukai minuman beralkohol pada 2022 tercatat mencapai Rp 8,07 triliun. Angka ini setara 117,60% dari target yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 sebesar Rp 6,86 triliun (kontan.co.id, 23/1/23).
Dan dalam ideologi kapitalisme, hitung-hitungan bukan standar halal dan haram. Karena kapitalisme dilahirkan dari proses pemisahan agama dengan kehidupan atau disebut sekularisme dan standar yang dijadikan rujukan adalah asas manfaat. Agama hanya mengatur urusan hubungan manusia dengan tuhan-Nya. Sehingga manusia tidak diwajibkan untuk terikat dengan aturan sang Khalik, sedangkan aturan kehidupan diserahkan kepada akal manusia. Maka sesuatu yang wajar miras masih dipertahankan dan diproduksi karena menguntungkan secara materi. Maka dengan ini, minol akan selalu ada selama aturan yang diterapkan dalam negeri ini adalah sistem sekulerisme.
Sedangkan dalam Islam, perbuatan manusia terikat dengan hukum buatan sang Khalik, yakni halal, sunah, mubah, makruh dan haram. Terutama khamar adalah zat najis, zat memabukkan, menghilangkan akal dan haram dikonsumsi seorang muslim, sebagaimana firman Allah SWT:
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ ٱلْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir." (QS. Al-Baqarah: 219).
Dalil ini menunjukkan perintah pasti, tidak ada keringanan sedikit pun seorang muslim untuk meminumnya. Walaupun, misalnya hanya memberikan hangat pada tubuh. Dan ketika seorang muslim melanggar apa yang Allah perintahkan, berarti dia telah melakukan kemaksiatan.
Begitupun dalam pandangan Islam, negara adalah pengatur urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
Ibnu umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya" (HR Bukhari dan Muslim).
Negara memiliki kewajiban untuk mengurus rakyat, negara tidak memberikan celah sedikitpun untuk rakyat terjerumus dalam kemaksiatan. Negara bukan hanya tugas merazia tapi menutup peredaran sampai tuntas. Dan ketika ditengah-tengah umat terdapat kemaksiatan, masyarakat saling mengingatkan. Dan tugas negara tidak segan memberikan sanksi yang tegas. Ketika aturan Islam terealisasi di tengah-tengah umat, maka akan tercipta keamanan dan ketentraman.
Wallahu'alam bishshowab.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.