Oleh Drs. Dodo
Suwondo, M.Si.
Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia asal tanah Sunda,
Jawa Barat. Angklung terbuat dari bambu dan dibentuk dalam berbagai ukuran
menyerupai pipa. Dalam sebuah angklung terdapat dua sampai empat tabung bambu
yang digantung dalam bingkai bambu dan diikat dengan tali rotan. Setiap
angklung menghasilkan satu nada atau akord. Sehingga, untuk menciptakan melodi
yang indah beberapa orang harus memainkan angklung bersamaan.
Berdasarkan catatan
sejarah, angklung muncul pada abad ke-12 yakni pada masa Kerajaan Sunda.
Tradisi bermain angklung terus diajarkan secara turun-temurun. Permainan
angklung erat kaitannya dengan adat istiadat karena dimainkan saat upacara penanaman
padi, panen, dan khitan (tim | CNN Indonesia). Diyakini keberadaan angklung
pada saat itu adalah merupakan alat pendukung ritual pertanian, khususnya
ketika hendak menanam padi dan pada saat panensebagai wujud penghormatan kepada
Dewi Pohaci atau Pohaci Sanghyang Sri (Dewi Padi).
Berjalannya
waktu─menentukan bahwa musik angklung kini bukan hanya sekedar musik sakral
yang hanya mengiringi tradisi pertanian saja, namun sudah menjadi musik yang
bernilai tinggi─musik yang dapat dipergelarkan bukan hanya pada acara-acara
resmi dan formal namun juga sebagai musik hiburan.
Tak dapat
dipungkiri bahwa Daéng Soetigna-lah yang memperkenalkan angklung ke dunia
internasional, dan kini telah tercatat di UNESCO. Sebagaimana disampaikan tim “Angklung resmi diakui UNESCO pada
2010. Angklung masuk dalam warisan budaya takbenda atau Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity” (tim | CNN Indonesia).
Tahun 2018 pada
acara festival angklung di kawasan Gedung Naskah Linggarjati, Kuningan
mendeklerasikan bahwa Kuningan adalah Kabupaten Angklung. Hal tersebut
sangatlah masuk akal mengingat beberapa fakta menyebutkan bahwa “Anu mokalan nyieun angklung diatonis téh
Daéng Soetigna (baca: Daéng Sutigna), dina taun 1930-an, di Kuningan.” (Tatang Sumarsono,
Daeng Soetigna Bapa Angklung Indonesia).
Ini bukti bahwa waditra angklung yang bernada diatonis dimulai dari Kuningan
oleh salah seorang ahli seni dan guru kesenian yang bernama Daéng Soetigna.
Selanjutnya
“Daéng mimiti ngulik pikeun ngarobah nada
angklung téh ti umur lilikuran, waktu keur jadi guru di Kuningan.” (Tatang Sumarsono). Fakta ini diceritakan bahwa Daeng Soetigna sengaja menemui Pa
Jaya, seorang ahli membuat angklung. Dalam cerita berikutnya “Daeng meunang raratan yén anu sok nyieunan
angklung téh ngaranna Pa Jaya. Cenah baheulana kungsi jadi panayagan. Nya ka
dinya Daeng nepungan.” (Tatang Sumarsono).
Iin
Suheli mengemukakan pendapatnya dalam Kuningan 'Rumah Pertama' Angklung, bahwa;
“Daeng Sutigna, belajar membuat angklung,
mulai dari memilih bambu yang tepat, sampai menyesuaikan nadanya hingga pas,
kepada pak Kucit, Kuwu Citangtu pada masa itu. Pak Daeng Sutigna lalu
berinovasi dengan mengubah nada angklung dari pentatonis (nada tradisional) ke
diatonis”. (Iin Suheli, Kuningan 'Rumah Pertama' Angklung)
.
Menurut
Edi Kusnadi S.Sn. dalam “Bukan Daeng Soetigna Pencipta Angklung, Tapi Pak
Kucit” mengatakan bahwa “anggapan selama
ini Daeng Soetigna adalah pencipta angklung salah. Karena sebenarnya yang benar
adalah Pak Kucit.“Pak Kucit itu yang mengenalkan angklung dari nada pentatonis
(da-mi-na-ti-la-da) ke diatonis (do-re-mi-pa-so-la-si). Sekali lagi Pak Daeng
hanya muridnya dan mengembangkan di Bandung setelah beres acara peringatan HUT
Perundingan Linggarjati, tandas Edi yang merupakan warga Citangtu asli dan
masih ada keturunan dari Pak Kucit kepada kuningamass.com, Jumat (16/11/2018)”
(Agus Mustawan).
Selanjutnya
Mang Ucup dalam Daeng Soetigna
Bapak Angklung Indonesia
mengemukakan bahwa Pak Daeng
ternspirasi oleh dua orang pengemis yang memainkan angklung: “Inspirasi datang
ketika ada dua orang pengemis memainkan lagu cis kacang buncis di depan rumah
Pak Daeng dengan memakai angklung. Pak Daeng sangat tertarik dan langsung
membeli angklung dari pengemis itu. Angklung tersebut bernada pentatonis (nada tradisionil
sunda). Padahal,
agar dapat digunakan untuk mengajar seni musik barat, maka diperlukan alat
musik bernada diatonis. Karena itulah Pak Daeng bertekad membuat angklung
diatonis. Pak
Daeng kemudian bertemu dengan Pak Djaja, seorang empu pembuat angklung yang
mumpuni. Walau sudah tua dan sebelumnya hanya tahu musik pentatonis, Pak Djaja
dengan senang hati membantu Pak Daeng membuat angklung diatonis. Atas kerjasama
mereka berdua, terciptalah alat musik pribumi yang mudah dibuat, dan murah. Hal
itu terjadi pada tahun 1938”. (Mang Ucup, Menetap di Amsterdam, Belanda)
Dari
beberapa pendapat di atas hampir semua sepakat bahwa pembuatan angklung yang
bernada diatonis dimulai dari Kuningan. Baik Tatang Sumarsono,
Iin Suheli, Edi Kusnadi S.Sn., maupun Mang Ucup mengatakan bahwa Daéng Soetigna belajar membuat angklung
adalah di Kuningan. Tentang kepada siapa
Fakta
lainnya cerita Drs. Slamet Siregar (Alm.) mantan pegawai (PNS) di BAPPEDA
Kabupaten Kuningan) dan terakhir merupakan salah seorang pejabat echelon IV di
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bahwa dirinya sering aktif latihan
memainkan angklung di aula Radio Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan─sekarang
Kuningan FM. Hal inilah yang memperkuat bahwa di Kuningan musik angklung pernah
berjaya.
Berikut
ini hasil analisa tentang angklung dengan siapa Pa Kucit, siapa Pa Jaya dan siapa Daeng Soetigna?
ANALISA PERTEMUAN DAENG SOETIGNA – PA KUCIT/ PA JAYA
Nama Tokoh |
Lahir |
Wafat |
Keterangan |
Daeng Soetigna |
Garut, 13 Mei 1908 |
April 1984 |
|
Muhammad Satari (Pa Kucit) |
Kuningan, 7 September 1904 |
8 Desember 1988 |
|
Pa Jaya |
? |
? |
|
Daeng Soetigna
▪ lulus sekolah di Kweekschool,
taun 1928
▪ tahun 1930-an, guru di HIS (sekolah dasar
zaman Belanda) di Kuningan Jawa Barat
▪ Daeng Soetigna bertemu dengan tukang jajaluk yang ngamen menggunakan angklung
▪ Daeng Soetigna membeli angklung ka tukang jajjaluk
▪ Daeng Soetigna bertemu Pa Jaya (versi Bandung),
pengrajin angklung dari Citangtu (versi Bandung) dan berguru membuat angklung
kepadanya
▪ Daeng Soetigna membuat angklung dengan menggunakan nada
diatonis (do, re, mi, ....)
▪ Tahun 1938,
di Bandung diadakan padvinders rally yang diprakarsai oleh POP (Padvinders Organisatie Pasundan, lembaga kapanduan (= Pramuka; sekarang) di lingkungan Paguyuban Pasundan). Daeng Soetigna dipercaya memimpin
rombongan pandu Kabupatén Kuningan.
▪ Tahun 1938 (tahun yang sama), sepulang Daeng Soetigna dari padvinders rally Pa Jaya meninggal dunia
▪ tahun 1946,
Perundingan Linggarjati, musik angklung dipergelarkan untuk menghibur
tamu nagara
▪ Taun 1948, jaman Republik Indonesia Serikat
(RIS), Daeng Soetigna pindah
ka Bandung,
▪ taun 1950-an, Daeng Soetigna melanjutkan
sekolah ke B-1 Jurusan
Seni Suara
▪ taun 1955 musik
angklung dipergelarkan pada Konferensi
Asia Afrika (18 – 24 April 1955); Pembukaan Colombo Plan; dan
Pembukaan PON ka V di Stadion Siliwangi,
▪ taun 1964 dari Direktur
Kokar (= SMKI/SMK N. 10, sekarang)
▪ taun 1968 Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI mengeluarkan SK No. 082/1968, yang menegaskan bahwa angklung diposisikeun menjadi jadi
alat pendidikan musik.
▪ Daeng Soetigna wafat pada bulan April 1984.
Tentang Muhammad Satari
(Pa Kucit)
▪ menurut ahli
waris Pa Kucit (1) Subagja, cucu (incu ti
gigir) Pa Kucit; (2) Yeni, cucu angkat Pa Kucit menjelaskan bahwa:
1) Pa Kucit tidak punya keturunan (gabug);
2) Pa Kucit adalah kakak kandung Pa Jaya;
3) Pa Kucit seorang seniman dan memiliki keahlian
dalam membuat berbagai alat musik;
Tentang Pa Jaya
▪ menurut ahli
waris Pa Kucit; (1) Subagja, cucu (incu
ti gigir) Pa Kucit; (2) Yeni, cucu angkat Pa Kucit menjelaskan bahwa:
1) Pa Jaya adalah adik kandung Pa Kucit;
2) Pa Jaya adalah pengrajin seni kriya (mébelér)
terutama yang berbahan baku bambu dan kayu;
▪ menurut Tatang Sumarsono Pa Jaya
adalah seorang panayagan yang umurnya
sudah tua. “Harita
Pa Jaya téh geus kolot pisan, geus rada torék bari mimiti pikun.”
Beberapa hal yang perlu diluruskan:
1. Daeng Soetigna, lahir di Garut, 13 Mei 1908, wafat April 1984 pada usia 76 tahun
(Tatang Sumarsono);
2. Pa
Kucit, lahir di Kuningan, 7 September 1904, wafat 8 Desember 1988 pada usia 84 tahun (Subagja & Yeni);
3. Selisih
usia Daeng : Pa Kucit, adalah 1904 : 1908 = 4 tahun
4. tahun 1930, Daeng Sutigna menjadi guru HIS di Kuningan usia
keduanya pada saat itu:
a. Daeng Soetigna, 22 tahun
b. Pa Kucit, 26 tahun
5. Pa Jaya
adalah adik kandung Pa Kucit (Subagja & Yeni)
6. Pa Jaya (1930-an) adalah seorang wiyaga atau pangrawit
... Cenah
baheulana kungsi jadi panayagan ... Harita Pa Jaya téh geus kolot pisan, geus rada
torék bari mimiti pikun. Tapi ari ku keyeng mah, Daeng teu burung bisa mulungan
élmuna. Ku Pa Jaya diterangkeun naon nu disebut rancak, sundung, pupurus, katut
istilah-istilah séjénna dina waditra, hususna angklung. Lian ti éta, Daeng
diajar lalaguan Sunda buhun, kayaning “Tonggérét”, “Balaganjur”, jeung “Kacang
Buncis” minangka kostimna angklung. (Tatang Sumarsono)
7. Taun 1948, masa Republik
Indonesia Serikat (RIS), Daeng pindah ke
Bandung,
Tentang Pergelaran Angklung Diatonis
8. Pak Kucit itu yang mengenalkan angklung dari
nada pentatonis (da-mi-na-ti-la-da) ke diatonis (do-re-mi-pa-so-la-si) pada acara
peringatan HUT Perundingan Linggarjati (yang ke ...?); (Edi Kusnadi; Agus
Mustawan <= Pergelaran angklung pertama). Selanjutnya Edi tak menjelaskan kapan
pagelaran berikutnya (kedua, ketiga, dan seterusnya).
9. Taun 1938, Pa Daeng mengenalkan angklung diatonis di Bandung pada acara
padvinders POP (Padvinders Organisatie Pasundan. <= Pergelaran angklung pertama
10. Pada saat Perundingan Linggarjati, tahun 1946 (11
hingga 13 November 1946), musik angklung dipergelarkan kembali di hadapan para delegasi (Tatang
Sumarsono); <= Pergelaran angklung kedua
11. Pada tahun yang sama (Desember 1946) pada acara
perpisahan dengan Laksamana
Mountbatten, Panglima Sekutu di Asia Tenggara di Jakarta angklung Pa Daeng kembali dipergelarkan (Tatang Sumarsono); <=
Pergelaran angklung ketiga
12. Tanggal 24 April 1955 pergelaran angklung di
Gedung Merdeka, Jl. Asia Afrika (sekarang) pada acara menyambut tamu Konferensi Asia Afrika (Tatang Sumarsono); <=
Pergelaran angklung keempat
Garis Keturunan Pa Kucit (Muhammad Satari)
Samaratungga
║
Lauda bin Samaratungga
║
Cimon bin Lauda
║
Martakrama bin Cimon
║
Natadiraksa + Sarep
║
Muhammad Satari
(catatan Deri Akbar Tandiat)
Beberapa kemungkinan:
Kemungkinan nama Jaya
dalam catatan Tatang Sumarsono dinyatakan sudah tua, bisa identik dengan:
▪ Jaya
adalah nama lain dari ayah atau kakek Pa Kucit (Natadiraksa atau Martakrama);
▪ Nama
salah seorang Kuwu sebelumnya (sebelum Pa Kucit menjadi Kuwu);
▪ Pa Jaya
bukan adik Pa Kucit (Muhammad Satari) melainkan kakanya yang sudah lebih dahulu
menjadi Kuwu Citangtu sebelum Muhammad Satari;
▪
Mengingat usia Pa Kucit dengan Pa Daeng Soetigna tidak berapa jauh, hanya terpaut 4 tahun,
ada kemungkinan kedua-duanya sama-sama membelajari angklung kepada Pa Jaya.
▪ Ada
kemungkinan nama Muhammad Satari sengaja disembunyikan dan yang muncul adalah
nama Jaya mengingat Pa Kucit (Muhammad Satari) selalu dicari-cari oleh
Pemerintah Belanda. Nama Kucit-pun adalah akronim dari Kuwu Citangtu adalah
agar tidak ketahuan oleh Belanda. Pernah terjadi ada kurier Belanda
bertanya langsung kepada Pa Kucit─menanyakan Muhammad Satari:
Kurier Belanda : Di mana rumahnya Muhammad
Satari?
Pa Kucit : Euweuh ngaran Muhammad Satari di
dieu mah aya ogé Si Kucit. (wawancara dengan Yeni)
Akhirnya
siapapun itu─Pa Jaya atau Pa Kucit, angklung yang bernada diatonis lahir di
Kuningan berkat kerja samanya dengan Daeng Soetigna.
DAYA
DUKUNG KABUPATEN ANGKLUNG
1.
Museum Angklung Pa Kucit
Pada tahun 2017
Kabupaten Kuningan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan telah mendeklarasikan bahwa Kuningan adalah
kabupaten angklung. Hal ini mengingat bahwa salah seorang tokoh masyarakat yang
bernama H. Muhamad Satari atau disebut juga Pa Kucit (Kuwu Citangtu) ikut andil
mempromosikan waditra angklung ke dunia luar bersama Daeng Soetigna, seniman
dan guru kesenian asal Garut yang pernah mengabdi sebagai guru HIS di Kabupaten
Kuningan pada tahun 1930-an.
Dapat dimungkinkan antara Daeng Soetigna dan Pa Kucit atau Pa Jaya mereka
saling berguru.
Pa
Kucit berkedudukan di Desa Citangtu (sekarang; Kelurahan). Rumah beliau masih
ada dan masih utuh yang saat ini dijadikan tempat tinggal oleh ajli warisnya.
Rumah tersebut berdampingan dengan rumah adiknya yang bernama Pa Jaya. Dan,
menurut Tatang Sumarsono (budayawan; Bandung) bersama Pa Jaya-lah Daeng
Soetigna bekerja sama menciptakan waditra angklung yang bernada diatonis.
Rumah
Pa Kucit (dok. Azhar)
Oleh
karena itu rencana perwujudan rumah tinggal Pa Kucit dialihfungsikan sebagai Museum
Angklung yang telah diirintis oleh Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Kuningan pada tahun
2020 harus segera terwujud. Selain peralihan fungsi rumah tinggal Pa Kucit (H.
Muhamad Satari) menjadi “Museum Angklung Pa Kucit”, tentu harus dilengkapi
dengan infrastruktur lainnya─akses jalan, tempat parkir, juga harus dibangun,
termasuk penambahan daya listrik untuk penerangan dan kebutuhan lainnya.
2. Monumen Angklung atau Monumen Pa Kucit
Berkaitan dengan
rencana peralihan fungsi rumah tinggal Pa Kucit (H. Muhamad Satari) menjadi
“Museum Angklung Pa Kucit” ada hal lain yang tak kalah pentingnya, yaitu
pembangunan monumen yang berkaitan dengan ketiga tokoh (Pa Kucit atau Pa Jaya
dan Pa Daeng Soetigna) tersebut.
Pembangunan
monumen tersebut juga berkaitan dengan rencana Kuningan sebagai Kabupaten Angklung.
Pembangunan
monumen atau tugu angklung pun telah dirintis oleh Bidang Kebudayaan, Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan pada tahun 2020 bersamaan dengan penetapan “Museum
Angklung Pa Kucit”. Oleh karena itu pada tahun 2024 diharapkan monumen atau
tugu angklung dapat direalisasikan.
3.
Komunitas/masyarakat Pengrajin dan Lokasi Pengrajin Angklung
Sebuah daerah
dikenal dengan “sesuatu”-nya karena memang di daerah tersebut ada “sesuatu”,
misalnya Sumedang dikenal karena tahunya maka tersebut disebut disebut “tahu
sumedang” dengan segala perbedaannya dengan tahu dari daerah lain─termasuk di
Kuningan dikenal “tahu lamping”nya karena produsen tahu di Kuningan adalah
penduduk wewengkon Lamping. Demikian juga “peuyeum ketan” Tarikolot, “kasreng”
Luragung, karena para produsennya satu komplek di wewengkon tersebut.
Kuningan
yang mencanangkan sebagai Kabupaten Angklung tentu harus memperhatikan beberapa
faktor, diantaranya faktor sejarahada peristiwa apa dalam sejarah tentang
angklung tersebut, siapa tokohnya, bagaimana tokoh tersebut bisa dikatakan
tokoh angklung, apa perannya?
Adapun
faktor-faktor lainnya adalah:
1)
Sejauh mana keberadaan dan perkembangan angklung di Kuningan?
2)
Adakah di Kampung, Desa, atau wewengkon tersebut terdapat pengrajin atau
industri rumah tangga angklung? Paling tidak 10 - 5% pengrajin angklung─tidak
cukup oleh satu orang pengrajin sebagai usaha pribadi.
3) Apakah
musik angklung memasyarakat?
4)
Bagaimana volume pemasaran musik angklung dalam unit per minggu, per bulan, per
tahun?
5)
Sejauh mana keberadaan angklung dikenal di luar Kuningan?
Faktor-faktor
inilah yang perlu dijawab, jika belum maka kita harus menyiapkannya agar
Kuningan sebagai Kabupaten Angklung bisa terwujud dan keberadaannya dapat
dipertanggungjawabkan.
4.
Galeri Angklung
Menyematnya
Kuningan sebagai Kabupaten Angklung tentu harus dibarengi dengan berbagai bukti
lain sebagai pendukung. Hal tersebut demi membuktikan bahwa Kuningan
benar-benar sebagai daerah dimana angklung pernah dan masih hidup di
tengah-tengah modernisasi.
Unsur
penting untuk mendukung Kuningan sebagai Kabupaten Angklung diantaranya adalah Galeri
atau Sanggar Angklung yang di dalamnya terdapat:
▪
Bengkel tempat pembuatan dan perakitan alat musik angklung;
▪
Ruang tempat memamerkan waditra angklung. dan
▪
Ruang tempat pelatihan memainkan musik angklung.
5.
Pemasyarakatan Angklung
Selain keempat
poin di atas sangat perlu diperhatikan bagaimana memasyarakatkan waditra
angklung?
Ada
beberapa kiat yang dapat dilaksanakan untuk memasyarakatkan waditra angklung di
Kuningan, pertama memberikan himbauan
ke persekolahan semua jenjang agar memiliki waditra angklung sekaligus
nenainkannya; kedua menghimbau semua
desa/kelurahan agar memiliki waditra angklung sekaligus nenainkannya; dan ketiga adakan pameran angklung sekaligus
festival angklung yang diikuti oleh semua jenjang pendidikan dan komunitas.
*****
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.