Oleh Dodo Suwondo
Dalam pembukaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya telah jelas dikemukakan dalam menimbang bahwa:
▪ cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
▪ bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;
▪ bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;
▪ bahwa dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
Dijelaskan pula dalam Bab I Pasal 1 ayat 2 bahwa “Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.” (UU No. 11 - 2010) Artinya semua dan seluruh benda baik alam maupun buatan manusia wajib dipelihara dan dilestarikan. Benda alam yang diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang dianggap penting seperti batu, cadas, pohon dan lain sebagainya perlu dipelihara dan dilestarikan.
Batu Hurip ─ Ciawitali (dok. Dadang Setiawan, S.Pd. 21-10-2023 )
Keyakinan tersebut baik yang bersifat mitos maupun logika. Batu alam misalnya, karena bentuknya, teksturnya, ukurannya yang cukup atau sangat besar dan unik yang berada di tempat strategis yang diyakini masyarakat memiliki suatu kekuatan perlu diperhatikan karena kita pun harus menyatu dengan alam─yang sama-sama ciptaan Tuhan. Secara logika pun keberadaan batu yang ukurannya luar biasa tersebut adalah sebagai paku alam atau benteng alami sebagai penahan bumi.
Sering terjadi kekeliruan ketika membangun proyek senderan sungai atau tebing misalnya, jika ada sebuah batu yang dianggap menghalangi─dibongkar karena dianggap akan menghambat aliran air. Padahal sejatinya batu tersebut adalah pondasi alami yang sudah teruji kokoh menahan tanah, selain itu hambatannya merupakan pengatur derasnya aliran air sungai, sehingga air yang mengalir tidak mudah menggerus dinding sungai.
Demikian juga pepohonan, kiara, beringin, bunut, kihujan, waru, dan lain-lain, perlu dipelihara─bukan ditebang lalu dimusnahkan. Belakangan sudah banyak kasus pohon beringin yang dimusnahkan hanya karena sentimen pemahaman dalam berkeyakinan─yang katanya khawatir menimbulkan kemusyrikan. Karena pemahaman tersebut setiap pohon beringin yang tumbuh rindang di alun-alun depan rumah ibadah menjadi korban, padahal pohon tersebut diciptakan Tuhan untuk keberlangsungan ekosistem, tempat berlindung satwa─terutama burung-burung yang bersarang di dahan dan ranting. Selain itu pohon jenis ini adalah sebagai penyimpan air yang berpengaruh terhadap kesetabilan suhu lingkungan terdekatnya.
Sampai dekade 1980-an masih terlihat komplek rumah ibadah yang lengkap dimana di sana ada masjid, ada halaman luas (alun-alun), dan ada pohon beringin di tengahnya. Kini keadaan seperti itu hanya tinggal satu dua. Belum lagi bentuk bangunan rumah ibadah yang berubah bentuk dan struktur yang sudah semakin timur tengah─“papat kalima pancer” dengan bentuk kubah cungcung segi empat sudah jarang terlihat, padahal bentuk tersebut merupakan ciri khas tatar Sunda.
Belakangan ini Kabupaten Kuningan bisa dikatakan sedang dalam keadaan darurat cagar budaya. Mengapa demikian? Berdasarkan pengamatan bahwa satu persatu Kabupaten Kuningan telah dan akan kehilangan benda-benda cagar budaya─khususnya yang berbentuk bangunnanberupa gedung, dll. Hal tersebut nampaknya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan berbagai kepentingan, seperti diantaranya:
▪ terkesan tidak moderen;
▪ perlu pembenahan;
▪ berada pada tanah milik perorangan;
▪ difungsikan ulang sesuai kebutuhan dan selera pengguna/calon pengguna;
▪ tidak dibutuhkan karena dianggap tidak penting; dll.
Padahal bangunan-bangunan bersejarah sejatinya adalah benda cagar budaya yang perlu dipertahankan, dipelihara, dan dilestarikan. Demikian pula benda-benda alami seperti batu, situ, sawah dan kebun produktif, hutan, dan lain lain, sudah semestinya dilindungi─jangan sampai musnah dan punah karena kepentingan/alasan emi kemajuan pembangunan.
Beberapa bangunan bersejarah yang diperkirakan akan dan sudah berubah dan atau sudah punah diantaranya misalnya:
1. Makam karamat (kuno/klasik)
Keberadaan makam karamat (kuno/klasik) telah banyak yang berubah dari semula berhiaskan batu alam diubah menjadi tembok bahkan keramik, hal ini menjadikan makam tersebut menjadi tidak asli dan kehilangan nilai sejarah karena setiap peradaban zaman tentu ada ciri-ciri tersendiri─dari satu dasawarsa ke dasawarsa lainnya, dari satu abad ke abad lainnya, dan dari satu fase ke fase lainnya─di fase mana makam tersebut bertatahkan batu, di fase mana menggunakan tembok dengan kapur dan semen bata merah, di fase mana menggunakan tembok dengan ubin PC (tegel), dan di fase mana menggunakan tembok dengan ubin keramik atau granit.
Dengan ciri-ciri tersebut kita dapat membedakan masa peradaban dan masa kehidupan manusia tempo dahulu. Selain itu dapat pula menemukan tingkatan sosial orang yang dimakamkan tersebut. Siapa orang yang dimakamkan, mengapa dikeramatkan?
2. Situs purbakala
Kabupaten Kuningan memiliki banyak situs purbakala, sayang sekali banyak yang tidak terawat dan tidak dirawat. Hal ini merupakan kerugian besar bagi daerah itu sendiri karena situs-situs adalah aset budaya yang tidak ternilai harganya, bahkan suatu saat situs-situs tersebut dapat pula mendatangkan keuntungan secara finansial.
Karena kurangnya perawatan dan seolah-olah dibiarkan maka tentu area sekitarnya bisa dimanfaatkan oleh orang tak bertanggung jawab, misalnya semula area situs tersebut berada di tanah tak bertuan maka lama-kelamaan menjadi tanah bertuan, lalu situsnya lenyap dan menjadi kebun; atau situs tersebut berada di tanah milik perorangan lalu pemilik tanahnya merasa itu tidak penting maka situs tersebut lenyap pula karena beranggapan berkebun lebih penting dari pada membiarkan benda tak penting.
Hal inilah yang menjadi kehawatiran para budayawan dan sejarahwan, karena daerah akan kehilangan bukti sejarah.
3. Bangunan sekolah berarsitektur Belanda dan atau zaman sesudahnya
Sejarah pendidikan di Kabupaten Kuningan membutuhkan fakta yang autentik. Fakta autentik bisa dicirikan dengan berbagai hal, misalnya ada guru, ada murid atau santri, ada ajaran, dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya tempat berlangsungnya pendidikan─lokasi dan bangunan sekolah.
Jika kita bertanya; di mana dan seperti apa Pesantren Kiyai Mutawaly, di mana dan seperti apa Pesantren Ciwedus, di mana dan seperti apa perguruan Eyang Hasan Maulani, dan di mana dan seperti apa perguruan Syeh Rama Haji Irengan? Jika semua itu masih ada dan masih aktif sampai sekarang, apakah masih seperti dahulu, atau sudah banyak berubah?
Demikian halnya dengan gedung-gedung bangunan sekolah eks jaman kolonial Belanda yang kini nasibnya hampir punah bahkan terancam punah─dan nampaknya sulit untuk ditolong. Oleh karena itu kita harus segera menyadari betapa pentingnya bukti sejarah dalam wujud bangunan yang bernilai sejarah. Janganlah kita terlena dalam indahnya pembaharuan dan modernisasi, dan sudah seharusnyalah kita bisa menelamatkan yang tersisa.
4. Rumah Ibadah
Kabupaten Kuningan telah banyak kehilangan bukti sejarah karena ada perubahan arsitektur dan struktur bangunan. Selain kehilangan bukti sejarah juga kehilangan kharisma. Rumah-rumah ibadah di Kabupaten Kuningan banyak yang bergaya moderen dengan gaya timur tengah pada kubahnya. Kalau kita bandingkan dengan Masjid Agung Sumedang misalnya, pada saat kapasitas terasa sudah tidak memadai yang dilakukan adalah penambahan serambi─bukan membongkar total lalu membangun kembali. Apalagi jika kita banndingkan dengan rumah-rumah ibadah di Jawa Tengah, Yogyakarta, atau pun Surakarta.
Jika kebiasaan merenovasi bangunan seperti rumah ibadah tersebut terus dilakukan maka lama-kelamaan Kabupaten Kuningan akan kehilangan daya tarik, wisata religi akan kehilangan ruhnya. Oleh karena itu baik pemerintah daerah maupun para pemuka agama (apapun) seyogyanya mengkaji ulang jika hendak merenovasi rumah ibadah. Artinya perehaban bangunan agar tidak lagi merubah arsitektur bangunan sepanjang masih kokoh berdiri dan kapasitasnya masih memadai, kecuali hanya memperbaiki dan mengganti material bangunan yang sudah rusak.
5. Pertokoan dan pusat perbelanjaan tradisional
Dua dekade terakhir ini dunia perdagangan dan perbelanjaan diramaikan dengan pasar moderen. Apa yang disebut dengan pasar swalayan atau pasar raya (supermarket/supermall) sudh menjadi tujuan belanja bagi konsumen─bahkan kini menjamur minimarket-minimarket di hampir seluruh kecamatan dan desa. Alasannya sederhana, yaitu praktis dan bergengsi.
Bagaimana dengan pasar tradisional? Pasar tradisional sebenarnya memiliki daya tarik tersendiri, bangunan yang berjajar memanjang dari elos ke elos (elos = kios) adalah bagi para pelancong dan tamu luar kota yang berkunjung, apa lagi jika di dalam atau seputar pasar tersebut terdapat salah satu elos yang menjual kuliner atau jajanan yang khas. Demikian juga pertokoan di pusat kota adalah area perbelanjaan berbagai kebutuhan rumah tangga. Baik pasar tradisional maupun pertokoan adalah merupakan sarana dan wahana sosial, di sini akan terjadi saling komunikasi antara pembeli dengan penjual (pelayan). Bermula dari memilih barang belanjaan, tawar menawar harga, sampai ke ijab kabul untuk syahnya jual beli. Sering terjadinya komunikasi antara pembeli dengan penjual maka akan terjalin hubungan erat sehingga menjadi pelanggan.
Hal ini berbeda sekali dengan pasar moderen─jarang terjadi komunikasi antara pembeli dengan penjaga, dengan kustomer servis (customer service), dan juga teller─paling-paling hanya menanyakan “di mana letak ... (barang yang dibutuhkan)”.
Namun seiring dengan berjalannnya waktu dan peradaban pusat perbelanjaan tradisional semakin terdesak oleh sistem perdagangan moderen. Selain itu pusat perbelanjaan pun direnovasi; dimodernisasi, akibatnya banyak pemilik toko yang mengubah model pelayanannya menjadi toko swalayan mengikuti sistem yang digunakan oleh pasar moderen.
6. Gedung Sjahrir, Desa Bandorasakulon, Cilimus, Kuningan
Jika Gedung Perundingan Linggarjati digunakan sebagai tempat perundingan dan menginap penengah perundingan, Lord Killearn, dan delegasi dari pihak Belanda. Maka Gedung Sjahrir dipakai sebagai tempat menginap delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir.
Secara historis kita bisa lihat dari gaya bangunan atau pun arsitektur dari gedung Sutan Sjahrir bergaya Indis dalam artian campuran antara eropa dan lokal. Namun apabila kita runut bangunan itu adalah milik saudagar Tionghoa. Pada masa kolonial, dimana Cilimius banyak sekali etnis Tionghoa," ungkapnya.
Gedung Sjahrir memiliki lima ruangan. Meski masih terlihat kokoh, namun keberadaan bangunan peninggalan Belanda itu kini kondisinya cukup memprihatinkan dan kurang terawat. Keadaan halaman baik depan maupun belakang dan samping ditumbuhi rumput-rumputan seperti ilalang yang tinggi dan lainnya. Warna cat bangunan nampak kusam dan kotor, sebagian kaca jendela banyak yang sudah pecah dan langit-langit berlubang, demikian pula atap, genting dan pintu-pintu, kondisinya rusak, tidak terawat.
Mengingat kondisi Gedung Sjahrir saat ini sudah sangat menghawatirkan maka alangkah baiknya Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan segera mengadakan
▪ Agar Pemkab melakukan kerja sama dengan pihak Kodim 0615 Kuningan dan Korem 063 Sunan Gunung Jati Cirebon untuk dilakukan perawatan.
▪ Lakukan perbaikan dan perawatan agar dapat digunakan untuk pariwisata, baik wisata pendidikan maupun wisata umum.
Gedung Sjahrir (dok. Dodo Suwondo)
Bangunan bernilai sejarah lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah Gedung ex Pendopo Kewedanaan. Saat ini yang masih terlihat diantaranya Pendopo Kewedanaan Ciawigebang yang sempat digunakan oleh UPTD Pendidikan Kecamata Ciawigebang, dan dan Pendopo Kewedanaan Kadugede yang mangkrak─sama sekali tidak dimanfaatkan.
Oleh karena iitu hendaknya pemerintah daerah melestarikan Gedung ex Pendopo Kewedanaan tersebut─sehingga generasi yang akan datang paham dan tahu sejarah peradaban bangsanya.
Dalam hal perawatan hendaknya:
▪ Agar tidak dilakukan renovasi tetapi hanya perlu perbaikan bagian material yang rusak.
▪ agar dilakukan perbaikan, perawatan dan untuk bangunan yang tidak dipakai agar difungsikan untuk kepentingan kedinasan lain atau lembaga lain.
Catatan di atas adalah hanya sebagian kecil dari nasib bangunan yang bernilai sejarah yang seharusnya menjadi Bangunan Cagar Budaya yang perlu dipertahankan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan. Untuk mempertahankan dan melestarikan Bangunan Cagar Budaya tersebut maka Bupati boleh membuat SK Penetapan BCB setelah dilakukan pengkajian terlebih dahulu oleh TACB (Tim Ahli Cagar Budaya), sebagaimana Bab VI Register nasional cagar budaya, Bagian Kedua Pengkajian, Pasal 31 dan Bagian Ketiga Penetapan Pasal 33.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.