Hot News
13 Juni 2024

Para Pekerja Tolak Rencana Tapera



Ina Agustiani, S.Pd

(Praktisi Pendidikan, Pegiat Literasi)


Seolah tidak percaya dengan situasi saat ini, ingin bergeming terhadap keadaan. Rakyat disuguhi drama kehidupan dimana hidupnya sudah susah harus ditambah kesusahan yang bertubi-tubi. Dan ini datangnya dari ibu pertiwi si pemangku kebijakan. Tidak cukupkah membuat kami harus menanggung derita lebih banyak lagi?

*

Berita sepekan ini sedang mencuat mengenai keberatannya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang diwakili oleh Ning Wahyu Astuti, terhadap PP No. 21 tahun 2024 mengenai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tentu saja program ini sangat memberatkan dimana tambahan beban sebesar 2,5 persen bagi pekerja dan 0,5 persen bagi pemberi kerja selaku pengusaha yang harus disetorkan kepada negara. Tentu ini menjadi beban bagi kedua belah pihak karena ada biaya tambahan yang harus dipangkas.

Menurut Ning, Jika ditelusuri ada maksimal 30 persen dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang juga dapat dimanfaatkan jika itu untuk program penyediaan perumahan. Total dananya sekitar Rp 138 triliun bisa untuk program perumahan melalui Manfaat Layanan Tambahan (MLT). Fasilitas ini diberikan BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk pinjaman rumah maksimal Rp 500 juta. Jadi sebetulnya anggaran dari BPJS saja sudah bisa mengcover rencana pembangunan Tapera. Ini yang ada terkesan mengada-mengada. 

Bukan tanpa sebab, pemerintah beralasan Tapera untuk solusi masyarakat yang belum memiliki hunian. Apalagi ada 9,9 juta warga yang belum punya rumah, 12 juta warga berpenghasilan rendah tinggal di rumah tidak layak, terlebih menurut info terbaru ada 81 juta penduduk usia milenial usia 25-40 tahun kesulitan memiliki hunian.


Beban Rakyat Makin Berat

Logika yang diusung oleh RI1, Presiden Jokowi bahwa konsep Tapera itu sama dengan BPJS. Pungutan diambil untuk kepentingan bersama. Pada awalnya banyak yang menghujat, tapi seiring berjalan waktu banyak orang-orang merasakan manfaatnya.

Masalahnya adalah semua beban itu dilimpahkan kepada rakyat, dengan beban hidup yang berat. BBM, harga sembako, listrik, sekolah, BPJS, dan sederet beban ekonomi yang ditanggung setiap individu. Sementara menurut data Bank Dunia, ada 110 juta penduduk Indonesia terkategori miskin. Terbayang jika Tapera diberlakukan para pekerja akan disuguhi pungutan-pungutan yang mencekik. 

Lalu fungsi negara dimana sebagai pengayom rakyat? Bukankah pungutan-pungutan yang ada seharusnya dibayarkan oleh negara bukan malah rakyat yang jadi korban.  Melihat respon dan tingkat kepercayaan yang rendah akhirnya Menteri Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengumumkan bahwa Tapera diundur hingga 2027, karena kurangnya sosialiasi. Jadi bukan dihilangkan tetapi diundur, kita sadari bahwa kebijakan ini hanya mengulur waktu saja.


Solusi Islam

Apa yang dilakukan negara saat ini ibarat gasab (mengambil sesuatu secara paksa), apalagi ini level negara diperkuat dengan kebijakan UU. Seperti dalam kutipan ayat “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian.” (TQS An-Nisa’ [4]: 29).

Gasab bisa dilakukan oleh individu, pengusaha, penguasa untuk mengambil harta rakyat dengan menghalalkan segala cara termasuk menyelisihi syariat. Berbagai pungutan atas penghasilan harta, kendaraan, tanah, rumah dan sebagainya. Ini maksud dari ayat diatas yaitu memakan harta sesama dengan cara yang batil.

Adanya Tapera adalah berlepas tangannya negara untuk menjalankan kewajibannya dengan membantu rakyat mendapatkan hunian yang layak. Senada dengan BPJS yang negara cuci tangan memberikan pelayanan kesehatan dan memaksa rakyat dengan sendirinya menanggung pelayanan kesehatannya. 

Mekanisme Islam mewajibkan negara menjadi pengeyom sepenuh jiwa raga membantu rakyat agar mudah dalam urusannya. Ada beberapa hal yaitu harus dilakukan di akar adalah menciptakan iklim ekonomi sehat dan punya penghasilan relatif cukup untuk memiliki hunian, bisa rumah pribadi atau sewa. Kemudian negara melarang keras praktik ribawi dalam bentuk kredit rumah, haram hukumnya. Riba atau bunga membuat orang susah mendapat rumah, tak jarang berakhir dengan lilitan hutang. Serta di level negara harus dihilangkan penguasaan lahan luas oleh oknum korporasi. 

Malah akan ditiadakan batasan dan kontrol terhadap penguasaan lahan, artinya pengusaha bisa menguasai lahan seluas yang diinginkan, memonopoli kepemilikan tanah biasa disebut land bankig yaitu penguasaan lahan luas tapi belum tergarap, ini mengganggu proses pembelian properti karena harganya amat sangat mahal.

Pengambilalihan tanah mati selama 3 tahun dan diserahkan pada yang bisa mengelola merupakan langkah bijak, diberikan pada yang membutuhkan, cara ini sangat efektif mencegah hunian bertumpuk di satu orang.  Seperti yang dicontohkan sahabat Rasul saat selaku kepala negara, pernah memberikan lahan di tanah Al-‘Aqiq pada Bilal bin Al-Harits; memberikan tanah kepada Wa’il bin Hujr di Hadhramaut; serta memberikan tanah kepada Umar dan Utsman serta para Sahabat yang lain. Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga pernah memberikan bantuan dari baitulmal untuk petani di Irak demi membantu mereka menggarap lahan pertanian, juga untuk hajat hidup mereka. Negara dalam hal ini dapat memberikan insentif atau bantuan kepada rakyat dari pos kepemilikan umum, jizyah, kharaj, atau ganimah.

Inilah solusi Islam dalam mengatasi permasalahan perumahan. Jika harga hunian mahal, seharusnya pemerintah sekuat tenaga  memberikan hunian terjangkau, perluas pekerjaan, stabilkan ekonomi, hilangkan semua bentuk korupsi. Islam adalah satu-satunya ideologi yang menjamin keadilan dan menghilangkan kezaliman akibat hukum-hukum dan ideologi buatan manusia. 

Wallahualam. []


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Para Pekerja Tolak Rencana Tapera Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan